Pages

Monday 11 February 2019

Bullying Happened To Me Too

Sebelum secara resmi menetap di Jogja, saya adalah manusia nomaden, berpindah dari Jakarta - Jogja - Jakarta - Jogja, tergantung kondisi apakah orang tua saya sedang mengadakan perang atau tidak. Tapi bisa dibilang saya lahir dan menghabiskan masa kecil di Jakarta. Saat akhirnya Ibu saya merasa cukup mengumpulkan memar-memar dihatinya, beliau mengajak saya untuk menetap di Jogja, bersama Simbah Kakung, Simbah Putri, dan Kakak saya; Mbak Lona.

Asing, saya tidak kenal mereka, saya takut. Pertama datang ke Jogja saya sakit-sakitan, saya rindu Bapak saya. Tiap hari saya habiskan dengan merengek Ibu ingin makan Dunkin Donat, ingin makan Mc Donald, ingin dapat hadiah dari happy meal. Saya datang dengan segenap gemerlap ibu kota. Teman-teman dikampung saya mengejek saya anak cengeng, anak Jakarta, anak manja. Pertama saya datang saya selalu berkorban untuk teman-teman sepermainan saya di Jogja, seperti ketika mainan kesayangan saya dari Bapak dirusak, saya menangis tapi tidak marah. Ketika sepatu roda saya dipinjam bergantian sampai saya tidak pernah memainkannya, saya pun diam. Saya hanya mencoba berteman. Ketika melihat Mbak Lona bermain bersama yang lain, saya akan menangis mengerjar dia, saya ingin main, saya juga ingin punya teman juga. Sedih, bahkan Kakak saya sendiri melihat saya sebagai ancaman.

Pertama saya datang dari Jakarta semua orang benci saya, sebabnya pun aneh, karna saya katanya anak kota? Aneh ya, kalau dipikir-pikir lagi kok ya nggak masuk akal.

Saya pernah masuk got dan ditertawai, kaki saya pernah masuk ruji besi sepeda, Mbak Lona dan teman-temannya tertawa, padahal saya menangis kesakitan.

Butuh waktu lama untuk paham bahwa kondisi ekonomi keluarga saya sudah tidak seperti dulu. Saat itu Ibu saya tiba-tiba bertanya "kok tumben nggak minta aneh-aneh", saya ingat saya hanya peluk beliau. Saya hanya punya Ibu saya waktu itu.

Setelah pulang dari Jakarta, Ibu saya memutuskan membuka warung kelontong untuk pemasukan keluarga kami. Saya selalu ikut beliau ke Pasar, saya nggak mau ditinggal sendirian dirumah bersama Simbah dan Mbak Lona. Saya selalu menangis kalau beliau ke Pasar tanpa saya.

Sampai akhirnya saya sekolah TK, disana saya tidak banyak berteman, semuanya jahat kesaya. Teman-teman saya, yang sudah pasti sebaya, sering cubit saya, menakuti saya, menjambak rambut saya, mengatai saya tidak punya Bapak, saya kafir, dan semua hal mengerikan yang sampai sekarang saya bingung itu mulut anak TK kok bisa kejam banget ya.

Waktu masuk SD pun nggak banyak berubah, dari nama saya, agama saya, rambut saya, kondisi keluarga saya, semua menjadi bahan bulan-bulanan teman-teman perempuan saya.

Saya ingat saya beli tas baru, lalu dihari yang sama tas saya ditarik sampai robek, saya pulang nenteng tas sambil menangis.
Saya ingat ketika saya ketauan suka sama teman sekelas saya, dia bilang saya nggak pantas suka dia, karna saya jelek, kriting, cengeng. Ini yang jadi penyebar gosip ya teman-teman perempuan saya.

Saya ingat saya pernah difitnah, lalu saya dipanggil, disidang dimaki-maki, diteriaki sampai saya pusing  saya menangis sesenggukan. Semua yang berteman dengan saya dimusuhi, akhirnya tidak ada satupun saya punya teman perempuan.
Saya ingat kelas 4 SD ada laki-laki pindahan dari Jakarta yang bilang suka ke saya, saya langsung dimusuhi, ya memang tiap hari dimusuhi sih, tapi saat itu saya benar sampai dianggap jijik, bahkan kalau sampai nggak sengaja kesentuh saya langsung bilang amit-amit. Saya hancur, bukan salah saya, kenapa saya yang kena batunya.
Mungkin mereka lupa, tapi saya ingat. Saya ingat semuanya. Setiap detail, bahkan saya masih bisa merasakan suasannya saat itu. Saya ingat semua nama yang pernah jahat ke saya. Bahkan sampai sekarang saya belum bisa memaafkan.

Orang satu-satunya yang saya punya adalah Ibu saya, yang bisa saya andalkan adalah Ibu saya. Tapi sayang, saat sekolah, saat main, saya tidak bisa membawa serta Ibu saya. Saya ingat ibu saya lari tergopoh-gopoh melihat saya disebrang rumah jatuh dari sepeda dan ditinggal teman-teman saya (saya nangis lo ini ngetiknya).

Satu hal yang terjadi terhadap seorang anak kecil ketika dia mendapat perlakuan tidak adil atau tidak baik dari teman sebayanya; mereka tidak marah, mereka tidak memberontak, justru mereka akan semakin berbaik hati, bukan karna mereka bodoh, tapi karna anak-anak korban Bullying ingin mempunyai teman, ingin pantas bersama mereka. They try to fit in. What if i do something good, maybe they could turn back and see me. Maka dari itu, walau saya diejek, dikucilkan, ditertawai, saya tetap memberi contekan, saya tetap membagikan makanan saya, saya tetap menyapa mereka. Karena yang seorang anak kecil inginkan hanyalah teman.

Berkat bullying yang sempat terjadi, saya tumbuh menjadi gadis yang pemalu, minder, merasa rendah diri, saya merasa tidak pantas, bahkan untuk merasa cantik pun saya nggak pernah kepikiran.

Ada banyak sekali hal-hal yang tidak enak untuk diingat yang terjadi dihidup saya. Kalau saja bisa saya ingin kembali kemasa lalu, peluk diri saya yang dulu, menyakinkan diri saya untuk melawan. Andai saja, beberapa hal dihidup saya tidak terjadi.

Untuk orang tua atau calon orang tua diluar sana, jangan remehkan apa yang anak kalian liat/dengar. Jangan remehkan "ah hanya bocah", karna yang terjadi dikehidupan saya adalah, anak usia TK mencubit saya, mengatai saya kafir. Anak usia SD memusuhi saya, memaki saya, umurnya belum ada 10, tapi sudah pandai mengatai saya "anak haram", "anak nggak tau diri", "miskin", "rambut mie gosong" mungkin mereka lupa, tapi saya ingat. Luka ini saya bawa, sampai mengingatnya saja membuat saya bergidik.

Tolong didik anak kalian dengan benar, atau kalian akan melukai mental anak lainnya sampai diumur dewasanya.

No comments:

Post a Comment