Setiap kata
CINTA terdengar menari-nari mengejek ketidaktahuanku, bayangan indahmu
berselebatan menghinggapi pikiranku yang masih bingung akan bayangmu.
Mengapa bukan bayangannya, mengapa bayanganmu?
Aku selalu
berpikir, bahwa dialah yang aku cintai selama ini. Bahwa dialah yang aku
inginkan selama hidupku. Tapi ternyata setiap darahku menginginkanmu, naluriku
nyaman dibawah naungan lengan kokohmu. Entah sudah berapa lama otakku
membohongiku, menutupi segala perkataan hatiku. Tapi, apakah ini juga cinta?
CINTA,
bagaimana? Sudah puaskah kamu, melihatku mencari jawaban di langit-langit
kamarku? Mengapa? Aku kira naluri ini hanya sebatas kedekatan antar teman,
namun lagi-lagi otak menyembunyikan kejujuran hatiku. Setiap lagu cinta
terdengar genit membisikan liriknya, bayangmu sekali lagi mengambil tempatnya
tak beranjak, kugelengkan kepalaku seakan bayangmu dapat tersibak dengan
begitu, tidak, bayangmu kukuh tak beranjak.
Maafkan
aku, yang terlambat mengatakannya. Aku menyesal melihatmu menitikan bulir-bulir
airmata itu dihadapanku, sungguh aku tidak menyangka bahwa aku juga
mencintaimu, salahkan otakku yang berpresepsi kalau aku masih mencintainya,
salahkan sikapku yang begitu nyaman dilengan kokohmu, salahkan canda tawa mu
yang membuat aku tak berhenti tertawa, salahkan rambutmu yang tersibak alami
dipermainkan oleh angin yang sepertinya dimabuk asmara dengan rambutmu,
salahkan situasi yang mempertemukan kita. Tapi pada akhirnya, akulah yang harus
kau persalahkan, aku yang bodoh, maafkan aku hatiku, aku tidak mendengarkanmu,
maafkan aku juga hatiku, aku telah membuatmu sakit melihatnya merangkul wanita
lain.
Aku menyesal
Tuhan. Aku menyasal Cing.
Teruntuk: Cacing.