Saat ini aku sedang mendengarkan lagu dari Sza - The Weekend
sembari melihat kamarku yang berantakan. Lucu kalau dipikir-pikir, padahal
hidupku hanya di atas kasur ini, tapi tiap sudut kamarku bak diterjang tsunami.
Beberapa waktu yang lalu, aku sudah kembali mengubah warna rambutku menjadi
merah. Entah ini impulsive atau aku sedang memenuhi keinginanku mengganti warna
rambutku dari SMK lalu menjadi merah.
Membayangkan hidupku yang 70% dari apa yang aku lakukan
adalah bagian dari impulsi yang berlebihan, terkadang tiba-tiba ingin makan
diluar sampai menghabiskan enam ratus ribu sekali jalan (sebagai orang yang
berkerja dengan gaji UMR, menurutku ini sangat banyak). terkadang tiba-tiba membeli
baju sampai dua juta, padahal untuk makan sebulan ke depan belum tahu dengan
apa. Antidepressant, jalan pagi, bahkan pulang ke Jogja juga sudah ku lakukan. Tapi
aku masih saja berlarut-larut dalam depresi. Susah rasanya memikirkan seperti
apa bahagia itu ketika aku masuk dalam episode depresi.
Lalu beberapa bulan yang lalu aku sempat mencoba
membayangkan, kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi jika keinginan-keingin
mengakhiri hidup ini nggak terbendung dan akhirnya aku melakukannya. Akhirnya aku
membuat listnya:
- Teman-teman real lifeku akan membuat in memorial, mengenang kepergianku, mungkin dengan membuat story, atau mempostingku di feeds IG mereka.
- Teman-teman onlineku akan membuat twit tentangku.
- Lalu kepergianku akan menjadi ajang orang twitter untuk berkata “kurang ibadah” lalu beberapa orang lain akan membelaku/menjelaskan bahwa kesehatan mental nggak segampang itu.
- Mungkin Mbak Lona akan terpuruk beberapa bulan.
- Mungkin Ibuku akan terpuruk sebulan.
- Lalu Mbah Uti akan bersedih karena akulah yang pergi duluan
Namun,
sebelum itu semua terjadi, jasadku harus ditemukan terlebih dahulu. Akhirnya aku
membuka percakapan ini dengan Juni, sahabatku, beberapa hari yang lalu.
“Jun,
kalau aku mati, butuh berapa bulan ya untuk jasadku ditemukan?”
Kami
hanya tertawa, lalu kami membahas topik lain. Tapi nggak lama, Juni pun
akhirnya penasaran juga dengan pertanyaanku itu.
“Iya
ya Ca, butuh berapa lama jasadmu untuk ditemukan?”
Pertanyaanku
ini sangat mendasar, karena di sini aku nggak punya siapa-siapa. Jarang pergi
keluar kostan kalau nggak perlu. Aku tidak punya keluarga yang setiap hari
berkabar. Selama aku disini, hanya dua kali aku telpon ibuku, pertama saat dia
punya HP baru, yang kedua adalah ketika aku menanyakan resep makanan.
Tapi
tulisanku ini bukan pertanda aku akan melakukannya ya. Aku hanya sedang
penasaran akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika hal itu benar
terwujud. Lalu pertanyaan siapa yang akan mengevakuasi jasadku, siapa yang
pertama kali mengendus bau busuk jasadku di kostan. Entahlah, pikiran kalau aku
akan meninggal lalu merepotkan orang lain ini sangat membuatku bergidik. People
pleaser banget nggak sih aku? Haha. Sampai mau mati pun masih memikirkan bahwa
aku merpotkan orang lain.
Eh tapi,
kalau jasadku ditemukan, berarti Mbak Lona harus pergi ke Cikarang untuk
mengirim jasadku ke Jogja, lalu mengurus keperluanku. Terdengar melelahkan. Sepertinya
tulisan ini dibuat agar setiap aku ingin melakukannya, aku bisa membaca tulisan
ini dan mengurungkan niatku.
Tapi hidup ini tidak ada yang tahu. Semoga kita semua selalu sehat saja, baik fisik maupun mental.
No comments:
Post a Comment